Seorang teman pagi ini memberi saya saran yang agak gimana gitu. Haha. Pasalnya ia mengatakan bahwa saya kurang supel alias kuper *eh :P Saya nggak tahu salahnya di mana. Mungkin dikira kurang lunak pada orang *presto bandeng kali lunak* =)) Dan mengatakan mungkin saya perlu untuk sesekali membuka diri pada orang baru. Keramahan yang nggak biasa ditunjukan di awal itu biasanya hanya saya gunakan sebagai topeng, nggak semua orang bisa saya ajak ramah, apalagi kalau saya lihat orangnya gimana-gimana. Saya emang pemilih sama orang sih. Kalau dirasa aman untuk banyak cerita ya no what-what ya. Saya bisa nyaman aja cerita ke orang tersebut bahkan mau ngobrol seharian juga hayuk aja lah. Ngobrol doang kan. Haha.
Sebenarnya soal keramahan ini gampang. Udah pernah nyobain diterapkan ke orang baru, dan ehem... bikin si orang ini terkesan karena mengira saya benar-benar seramah itu pada semua orang. Suatu hari di sebuah perjalanan kereta api, saya nggak ada bahan bacaan yang bisa dibaca di kreta, jadi nyari obrolan dengan teman samping yang ternyata seorang penyiar radio, cewek ya. Sebelahnya lagi ada laki-laki yang bawelnya minta ampun ikutan nimbrung. How long talking-talkingngalor ngidul gitu? Hampir setengah lama perjalanan kereta. Wkwk. Jadi pas itu perjalanan kereta dari Semarang ke Tegal. Dan orang yang saya ajak ngobrol itu baru berhenti ngomong di stasiun Pekalongan. Sampai dia ngerasa saking hausnya, satu botol air minum ditenggak habis. Huahaha =))
Ramah itu gampang sebenarnya, rumusnya cuma dua. Banyakin nanya aja tentang apa pun yang bisa dijadikan bahan obrolan, dari politik, sosial, ekonomi sampai obrolan kampus dan memadankan sesuai dengan hobi/kesukaannya. Kalau dia anak hukum ya ngobrolnya soal hukum. Kalau anak ekonomi ya ngomonginnya ekonomi. Orang bakal suka kok cerita tentang dirinya, emang fitrahnya gitu kan. Inget prinsip the similarity between us *backsound lagu Maher Zain menggema* :P Bahkan si lelaki ini nggak segan-segan menjawab pertanyaan yang sebenarnya tabu dijawab, soal kenapa seorang pengacara mau tetap mendampingi seorang yang bersalah di mata hukum. Gimana pertanggungjawabannya. Dan jawabannya panjang banget. Saya pikir dia nggak akan jawab karena itu obrolan yang udah mengarah ke profesionalitas kerja yang dia lakukan sebagai anak hukum.
Kesamaan hobi atau kesukaan itu berbanding lurus dengan keramahan, itu benar. Orang lebih cenderung tertarik dengan sesuatu yang “gue banget” apalagi kalau itu hobinya yang addict. Jadi prinsip the similarity between us ini tetep bisa dipakai untuk banyak hal, apalagi kalau kamu hobi jualan *eh. Jangan bahas jualan dulu sebelum kamu bisa mengambil hatinya. :P Ya, so far sih sejauh ini saya merasa ramah itu mudah, asal bisa tahu siapa yang diajak ngobrol dan gimana preferensinya dia selama ini. Mau dia hobi apa pun kalau dicari bahan obrolan yang pasti bisa.
Masalah terbesar justru bukan soal ramahnya. Kalau udah ramah trus gimana? Ada yang salah sangka dengan keramahan orang karena ngira ada apa-apa. Haha. Duh gimana dong? Saya aja pernah salah paham dengan seorang tukang becak. Beliau ngira saya bakal pakai jasa becaknya saat saya kasih senyuman seramah-ramahnya. Padahal saya kasih senyum karena nggak enak aja dia tetangga saya dan ketemu di jalan. Masa iya nggak disapa? Nggak keki gimana itu? Ada yang bisa bantu saja menjawab? :D
#semacamcurcol